Warisan Budaya Keluarga: Merajut

 Teringat jelas dalam memori, suasana rumah di Cianjur semasa uyut masih lahir. Di hari-hari biasa, meja tamu dihiasi taplak kecil dari rajutan benang berwarna biru, merah atau kuning. Lain lagi jika tiba hari istimewa, taplak yang digunakan masih berupa rajutan, tapi ukurannya lebih lebar, jenis rajutannya lebih cantik dan rumit… dan.. warnanya putih. 😄


Taplak Meja Rajut berwarna putih itu sungguh cantik, sehingga uyut hanya menggunakannya di hari istimewa saja. Alasannya.. karena warna putih lebih elegan.. dan jika dipakai tiap hari khawatir cepat kusam. 


Istimewanya.. taplak-taplak cantik itu dirajut sendiri oleh uyut. 


Bukan hanya taplak meja, uyut juga suka menambahkan rajutan pada baju kebayanya, dan punya juga bed cover rajut. 😅 Sungguh saya takjub sekali melihatnya.


Waktu kecil.. uyut sering menawari saya untuk belajar merajut. Tapi saat itu saya tidak cukup sabar untuk mendengarkan uyut. Saat itu.. saya tidak menemukan motivasi atau alasan untuk belajar merajut. Atau biasanya uyut sebut “ngarenda”. Alasannya.. saya gak perlu taplak meja. Bed Cover.. atau pakaian pun.. tak perlu saya tambahkan rajutan sendiri. Jaman saya kecil.. semua sudah cukup serba instan. Beda dengan zaman uyut.. yang melalui masa peperangan, ingin perlengkapan rumah atau pakaian cantik, ya harus bisa buat sendiri. 


Tidak melalui uyut langsung, ternyata saya mendapat kesempatan belajar merajut d Keputrian SMP. Saat itu Saya belajar membuat sepatu bayi. Tapi saya hanya sanggup menyelesaikan, sebelah sepatu saja. 😅 Gak cukup sabar.. 


Setelah itu.. lama sekali saya tidak merajut. Namun di masa kuliah, sempat belajar knitting. Alasannya.. karena di manga dan anime, banyak scene knitting.. Jadi penasaran. 😆 Alhamdulillah… cuma berhasil membuat 2 buah Syal. Setelah itu saya berhenti belajar knitting. 😅


Saat anak kedua Saya berusia 12 tahun, ternyata ia tertarik pada friendship bracelet, alpha bracelet, hingga Macrame. Dari eksplorasi itu, terlihat bahwa ia bisa lebih cepat  paham dan sabar belajar. Kemudian ia mengenal Amigurumi, Boneka yang terbuat dari rajutan. 



Aktivitas Rajut kembali muncul.. Tapi di sini saya merasakan antusiasme yang berbeda. Ya.. dulu referensi karya rajut ya hanya sebatas hiasan rumah tangga dan pakaian saja. Sedangkan di era ini.. karya rajutan itu sangat beragam. Pola dan Tutorialnya pun jauh lebih mudah untuk diakses. Sehingga.. ada binar lebih untuk mengulik kembali kegiatan merajut.


Dalam 6 bulan terakhir.. belum banyak karya rajut yang saya buat bersama putri kedua saya. Tapi saya sangat bahagia melihat diri saya yang semangat belajar hal baru dan mengetahui ruang baru bagi saya untuk bertumbuh dan berkembang bersama anak-anak.


I Feel So Young!


Saya belum yakin aktivitas ini masuk kategori 4 E ( Enjoy - Easy - Excellent - Earn ) bagi saya maupun putri saya. 


Dan saya tetap bisa bahagia, karena bisa turut memiliki keterampilan yang sama dengan uyut saya. Dan putri saya yang merupakan Gen Z, juga masih tertarik dan antusias dengan keterampilan yang tradisional ini. 


Saya merasa lega.. karena di era serba instant, anak saya masih mau bersusah payah merajut. 


Karya rajutan kami, masih terbatas dinikmati sendiri.. Belum menjadi sesuatu yang menghasilkan (menjadi income). Saya tidak menaruh ekspektasi untuk memiliki pendapatan dari rajutan.. Tapi Saya antusias, karena putri saya memiliki mental produsen bukan konsumen.


Kemandiriannya mencari tutorial dan memulai project rajut hingga menyelesaikannya adalah pencapaian yang mengharukan dan patut diapresiasi.. Entah apakah ia akan menjadi mandiri finansial melalui rajut atau hal lain, setidaknya saat ini ia punya kemandirian berpikir, melakukan hobi dan aktivitas. 


Yuk.. kita belajar mandiri dengan melatih mental produsen bersama anak-anak. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar