Plastic Wrap Parenting

Jadii.. aku sebenarnya selalu bingung ketika harus menulis di blog. 😆 Dulu.. (bisa dicek di blog ini) kalau nulis blog itu ya kaya diary dan pasang status. Isinya cuma kegiatan harian.. dan banyak yang <300 kata. 🤭 

Nah.. apalagi sekarang masuk KLIP, ada standarnya kan.. min. 300 kata. Jadi.. ya mari berupaya menuliskan kata menjadi sebuah tulisan yang benar, baik dan bermanfaat. Biar gak terdepak dari KLIP juga.. Ya masa Nisrin berhasil bundanya enggak, padahal bundanya yang ngajak. 😵

Saat cerita pada Nisrin.. kalau bundanya lagi bingung nulis apa... kami jadi flashback dengan tulisan-tulisan di blog Rumah Nisrin ini. Dan menyadari bahwa blog ini rekam jejak proses parenting kami.. Hmm.. apakah proses Parenting di keluarga kami sudah bisa dinilai baik?



Berkenaan ini.. kalau mencari parenting yang baik.. sepertinya banyak standarnya ya.. nah jadi.. gimana kalau eksplor Parenting yang tidak baik itu seperti apa.. dan itu jadi batasan umum lampu merahnya. 

Yang sebelumnya saya ketahui, ada yang namanya gaya parenting Helicopter View sebagai yang paling harus dihindari. Eh tapi ternyata sekarang ada istilah baru.. Plastic Wrap Parenting, yang mana helicopter view termasuk menjadi salah satu karakteristiknya..

Hmm.. kenapa yang dinamai Plastic Wrap? Apakah karena adanya fakta juga bahwa Plastic Wrap itu sangat tidak ramah lingkungan dan sulit ditangani (daur ulang)? Kaya kurang masuk ya.. cocokologi nya.. 😅

Ya.. daripada bingung.. mari kita bahas. 🤭

Jadi.. analogi Plastic Wrap ini muncul, karena adanya fakta gaya parenting orang tua yang ingin membatasi anaknya dari dunia luar, dan tidak membiarkan anaknya untuk membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut. 

Plastic Wrap Parenting punya karakteristik:

  • Over Protective: Sangat membatasi eksplorasi dan gerak anak, dengan alasan demi melindunginya dari bahaya, meskipun itu menghambat perkembangannya.
  • Kecenderungan Helicopter View: Orang tua secara ekstrim selalu mengamati gerak-gerik anak saat beraktivitas, mengawasi hingga mengintervensi anak.
  • Mengendalikan segala hal mikro: orang tua menintervensi anak dalam setiap aktivitas, atau menentukan suatu pilihan. Bahkan mengambil keputusan untuk anak tanpa menanyakan pendapat anak terlebih dahulu. 
  • Takut Salah atau Gagal: Orang tua terobsesi dengan kesuksesan anak, mencegahnya mengambil resiko dan membuat kesalahan.
Jika karakteristik parenting itu terus dilakukan.. maka akan berakibat: 
  • Anak sulit untuk mengambil keputusan
  • Tidak mampu menghadapi kritik
  • Sulit untuk beradaptasi
Waaa.. ini tuh agak jadi bikin aku becermin sih.. Karena 3 poin itu masih muncul dalam keseharian.. baik diri aku maupun anak-anak.

"Perasaan" enggak overprotective deh.. tapi kok ada gejala-gejala anak sulit mengambil keputusan yaa.. Nah.. jangan khawatir.. gak usah overthinking. Kalau kita sudah sadar, berarti bisa ada perubahan.. Yaitu dengan memberi kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan mulai dari keputusan berangkat sekolah atau tidak, bergegas mandi atau leyeh-leyeh, makannya dihabiskan atau tidak.. dst..

"Perasaan" suka mengapresiasi anak dan membiarkannya membuat kesalahan deh. Hmm.. jangan-jangan kita masih tetap lebih banyak mengoreksi perilaku anak, tanpa berdialog terlebih dahulu. Atau kita sering keceplosan menilai anak tanpa ada obrolan ya g hangat.. sehingga ia jadi anti kritik. 

"Perasaan" anak sudah diberi keleluasaan untuk berkegiatan secara mandiri.. kok jadi sulit berasaptasi ya.. Nah bisa jadi, standar leluasnya anak dan kita berbeda. 

Jadi.. kesimpulannya.. sikap kita yang akan menentukan seperti apa karakter dan sikap anak kelak di masa depan. 

Kalau terlanjur salah dan jeleknya.. Ya.. diakui, minta maaf, maafkan diri sendiri.. lalu tumpuk dengan lebih banyak kebaikan. 

Kita orang tua juga adalah seorang anak.. berinteraksilah dengan anak sebagai mana kita ingin diperlakukan dengan baik oleh orang tua kita. 

Proses kita mendidik dan mengasuh anak, adalah proses perbaikan diri kita juga sebagai anak. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar